Memperingati 40 Tahun UNCLOS dan Hari Nusantara

  • Post category:News
You are currently viewing Memperingati 40 Tahun UNCLOS dan Hari Nusantara
Cuplikan Kegiatan Perayaan 40 Tahun UNCLOS dan Hari Nusantara | Foto: PSIK FH UB

MALANG, FHUB – Dhiana Puspitawati, S.H., LL.M., Ph.D., Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) menjadi salah satu pemateri dalam kegiatan Perayaan 40 Tahun United Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS) dan Hari Nusantara. Tema yang diusung dalam Perayaan tersebut adalah “Hari Nusantara dan Ekonomi Biru: Refleksi 40 Tahun UNCLOS”. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Yogyakarta pada 12 Desember 2022.

Selain Dhiana, dalam kegiatan Peringatan 40 Tahun UNCLOS tersebut turut menghadirkan Dr. Sakti Wahyu Trenggono, M.M (Menteri Kelautan dan Perikanan RI), Sri Sultan Hamengku Buwono X (Gubernur D.I. Yogyakarta) sebagai opening speech. Sementara untuk opening remarks menghadirkan Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed.,Sp.OG(K).,Ph.D. (Rektor UGM), dan Dahlia Hasan, S.H., M.Tax, Ph.D (Dekan Fakultas Hukum UGM).

Dalam pemaparanya, Dhiana Puspitawati menyampaikan materi mengenai Refleksi 40 Tahun UNCLOS and Indonesia: Kekosongan Hukum di Indonesia. Beberapa materi yang disampaikan meliputi sejarah singkat UNCLOS 1982, Indonesia sebagai negara yang melakukan ratifikasi UNCLOS 1982, upaya yang telah dilakukan Indonesia dalam menerapkan UNCLOS 1982, serta langkah ke depan dalam penerapan UNCLOS 1982.

Dhiana menjelaskan bahwa sebagai negara peratifikasi UNCLOS 1982 menjadi sebuah konsekuensi bagi Indonesia untuk mengadopsi ketentuan UNCLOS 1982 ke dalam hukum nasional Indonesia mengenai pemanfaatan wilayah laut. Meskipun banyak yang telah dilakukan Indonesia, hingga saat ini masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Indonesia terkait pemanfaatan laut.

“Dari aspek hukum masih terdapat kekaburan norma serta kekosongan hukum dalam beberapa pengaturan berkaitan dengan penerapan UNCLOS 1982 secara nasional,” ujar Dhiana.

Cuplikan Pemaparan Dhiana Puspitawati, S.H., LL.M., Ph.D., Dosen FH UB dalam kegiatan Perayaan 40 UNCLOS dan Hari Nusantara di Yogyakarta | Foto: PSIK FH UB

 

Lebih lanjut, Dhiana menyebutkan bahwa Indonesia telah menyesuaikan ketentuan hukum nasional dengan UNCLOS 1982 mengenai kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia di wilayah laut dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Selanjutnya, Indonesia juga telah mengatur mengenai hak lintas damai dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam melaksanakan Lintas Damai di Perairan Indonesia, dan hak lintas Alur Laut Kepulauan (ALK) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanankan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan yang ditetapkan.

Meskipun telah diatur mengenai pelaksanaan hak lintas damai dan hak lintas ALK, masih terdapat perdebatan mengenai ALKI Timur-Barat yang belum ditentukan oleh Indonesia.

Lebih lanjut, berkaitan dengan wilayah yurisdiksi masih terdapat beberapa permasalahan. Indonesia telah mengatur mengenai Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Sementara mengenai pemanfaatan sumber daya alam khususnya hayati di perairan Indonesia maupun di wilayah yurisdiksi Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Pengaturan-pengaturan tersebut masih menimbulkan permasalahan, seperti ketidaksinkronan antara UU Perikanan Indonesia dengan ketentuan Bab V UNCLOS 1982, khususnya Pasal 73 UNCLOS.

“Selain itu, permasalahan yang kerap terjadi di wilayah ZEE, yaitu berkaitan dengan kegiatan militer asing yang sering dilakukan di ZEEI. Hingga saat ini masih terdapat kekosongan hukum mengenai pengaturan kegiatan militer di ZEEI,” jelas Dhiana.

Kemudian, Dhiana memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa masih terdapat kekosongan hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam non-hayati di laut, seperti penambangan pasir laut dan pengaturan mengenai sumber daya alam hayati dan non hayati di wilayah laut di luar wilayah yurisdiksi Indonesia atau Areas Beyond National Jurisdiction (ABNJ).

Melalui pemaparannya, Dhiana menyebutkan bahwa selama 40 tahun Indonesia hanya terfokus pada pengaturan pemanfaatan wilayah laut ke dalam (pada perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi) dan belum memikirkan pemanfaatan laut di luar wilayah yurisdiksi Indonesia (ABNJ). Dhiana juga menyebutkan bahwa sudah saatnya Indonesia memandang ke depan dan ke luar (keluar dari perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia).

“Ini merupakan saatnya Indonesia memikirkan partisipasi Indonesia yang diwujudkan ke dalam pengaturan atau formulasi hukum akan keikutsertaan Indonesia dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut. Indonesia should go beyond,” pungkas Dhiana. (trf)