Memahami Perbandingan Kewenangan Penyidikan Kejaksaan Indonesia dan Korea Selatan Melalui Drama Bad Prosecutor

  • Post category:Opini

Oleh:

Endrianto Bayu Setiawan

Mahasiswa FH UB Angkatan 2020

 

Sebagai insan akademis yang merupakan pembelajar hukum, tontotan drama Korea Selatan berjudul “Bad Prosecutor” selain menghibur untuk ditonton juga merupakan sarana untuk mempelajari perbandingan hukum pidana (comparative criminal law) antara Indonesia dan Korea Selatan. Melalui perbandingan, kita akan mengetahui bagaimana corak perbedaan sistem penegakan hukum pidana yang berlaku di kedua negara tersebut—khususnya perbandingan kewenangan penyidikan yang akan diulas dalam tulisan ini.

Sedikit ulasan cerita dalam drama Bad Prosecutor, pada episode pertama kita akan disuguhkan dengan aksi Jaksa Jin Jung—dari Divisi Kriminal III—yang mengejar pelaku tindak pidana korupsi UU Pasar Modal yang pernah dibebaskan Divisi Antikorupsi karena dianggap tidak cukup alat bukti. Pada episode pertama ini pula Jaksa Jin Jung mendapat pelimpahan perkara untuk menangani kasus penyerangan dan pembunuhan Seocho-dong.

Selain melakukan investigasi (penyidikan) terhadap kasus Seocho-dong, Jaksa Jin Jung secara diam-diam juga  melakukan investigasi atas kematian  Wakil Kepala Kejaksaan Lee Jang Won akibat dibunuh. Setelah melakukan investigasi, Jin Jung pun berhasil menemukan pelaku lapangan pembunuhan Wakil Kepala Kejaksaan Lee, dia adalah Sekretaris CEO Firma Hukum Kangsan (Tae Hyung Wook). Selain Sekretaris itu, pelaku lain yang diseret Jaksa Jin Jung adalah Kim Tae Ho—yang baru saja dilantik menjadi Kepala Kejaksaan Wilayah Seoul Pusat—karena telah memanipulasi penyebab kematian Wakil Kepala Kejaksaan Lee. Sehingga Jin Jung pun menangkap dan memenjarakan keduanya.

Kasus pembunuhan lain yang muncul dalam drama ini adalah pembunuhan Park Jae Kyung (Jaksa pada Divisi Urusan Sipil). Jaksa Jin Jung mengetahui bahwa pelaku pembunuhan itu adalah Seo Hyun Kyu (CEO Firma Hukum Kangsan). Akan tetapi di episode terakhir diketahui bahwa Park Jae Kyung tidak benar-benar meninggal. Atas kondisi itu membuat Jin Jung fokus mengumpulkan alat bukti untuk memenjarakan Seo Hyun Kyu.

Hingga pada akhirnya Jaksa Jin Jung berhasil mengumpulkan alat bukti untuk memenjarakan Seo Hyun Kyu dan menyeretnya ke pengadilan menggunakan alat bukti arsip manipulasi perkara, patung dewi keadilan (themis) yang digunakan untuk membunuh Park Jae Kyung, dan kesaksian Park Jae Kyung. Seo Hyun Kyu pun dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum Jin Jung dan Shin Ah Ra.

Dari sekian adegan pembunuhan di atas, nampak bahwa Jaksa Jin Jung sangat mendominasi alur cerita dan berperan aktif mengungkap suatu kejahatan melalui tindakan penyidikan (investigation). Adegan penyidikan yang dilakukan polisi dalam drama ini ditampilkan hanya satu kali, yakni ketika Jin Jung mengintervensi polisi yang telah memanipulasi kasus pembunuhan Seocho-dong.

Apabila mengamati drama ini, lantas faktor apa yang menjadikan peran Jaksa nampak begitu dominan ketimbang peran polisi dalam melakukan penyidikan, dibanding dengan penyidikan di Indonesia yang hampir semuanya adalah polisi?

Perlu diketahui bahwa Indonesia dan Korea Selatan sama-sama menganut sistem hukum inquisitorial civil law (Afandi, 2021), sehingga tidak heran apabila sistem penegakan hukum yang tergambar di beberapa cuplikan Bad Prosecutor nampak ada kemiripan dengan praktik penegakan hukum di Indonesia.

Di banyak adegan, kita juga akan menjumpai Jaksa—di tahap penyidikan—sering melakukan pemeriksaan (interogasi) terhadap tersangka secara langsung. Seperti yang dilakukan Jaksa Jin Jung memeriksa Seo Ji Han dan Sekretaris CEO Firma Hukum Kangsan.

Melihat berbagai adegan penyidikan yang dilakukan Jaksa Jin Jung dan timnya, mungkin kita terheran mengapa Jaksa sangat terlibat aktif dalam proses penyidikan? Dari segi wewenang penyidikan yang berlaku di Korea Selatan, Polisi memang tidak mempunyai wewenang investigasi secara independen, karena penyidikan yang dilakukan polisi berada di bawah arahan dan pengawasan Jaksa sesuai dengan Criminal Procedure Act (CPA)—yang merupakan Hukum Acara Pidana Korea Selatan.

Berdasarkan Pasal 195 dan Pasal 196 Criminal Procedure Act (CPA), Jaksa bisa terlibat aktif sejak tahap awal penyidikan, baik menguasai perkara secara keseluruhan dengan cara melakukan investigasi sendiri atau sekedar mengawasi polisi yang menjadi penyidik. Oleh karenanya Kepolisian Korsel dapat disebut sebagai subsidiary organ Kejaksaan, dan Kejaksaan sebagai supervisor of investigation (Cho, 2010: 62-64).

Kelebihan dari sistem ini yakni Jaksa bisa mendapatkan keterangan/pengakuan langsung dari tersangka dan dicatat di berkas mereka sendiri (Choe, 2018: 93). Sehingga tidak heran apabila Jaksa yang digambarkan dalam Bad Prosecutor lebih banyak berkonsentrasi pada tahapan penyidikan ketimbang memainkan peran ajudikatif di pengadilan.

Apabila dibandingkan dengan di Indonesia, Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Indonesia juga pemegang kendali atas suatu perkara—yang telah melalui proses penyidikan oleh kepolisian—sesuai dengan asas dominus litis (Pasal 140 KUHAP). Berdasarkan asas dominus litis, JPU adalah pihak yang berwenang untuk menentukan apakah suatu perkara dapat dilakukan penuntutan atau tidak (Surachman, 1996: 83).

Meski juga terdapat anggapan bahwa penguasa perkara yang sebenarnya menurut KUHAP adalah Kepolisian, bukan Kejaksaan. Karena tahap pertama penegakan hukum di Indonesia—di tingkat penyidikan—dilakukan oleh Kepolisian yang kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan (Afandi, 2023).

Perlu diketahui bahwa Jaksa sebagai pemegang kendali penuh atas suatu perkara—utamanya sejak tingkat penyidikan—memang banyak diterapkan negara-negara di dunia. Hal tersebut sesuai dengan Guidelines on the Role of Prosecutors—yang diadopsi menjadi Eighth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (1990)—yang menyatakan bahwa Jaksa merupakan Leading Sector dalam penindakan sebuah kasus pidana (Latifah, 2012: 109).

Berbeda dengan yang berlaku di Korsel dan di kebanyakan negara lainnya, Jaksa di Indonesia tidak mengawasi penyidikan oleh polisi secara langsung (supervisor), Jaksa juga tidak melakukan penyidikan sejak awal bersama kepolisian.

Akan tetapi Jaksa bisa melakukan pemeriksaan hasil penyidikan  melalui Berkas Perkara (BP) yang didalamnya memuat Berita Acara Penyidikan (BAP), sehingga berkas itulah yang nantinya akan menjadi dasar bagi Jaksa untuk memutuskan apakah akan melakukan penuntutan atau tidak. Meskipun tidak jarang dalam praktiknya apabila terdapat berkas yang tidak lengkap akan dikembalikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Polisi.

Dari sini dapat dipahami bahwa Jaksa di Indonesia tidak menerapkan asas dominus litis secara mutlak, melainkan hanya bisa menguasai perkara setelah mendapat pelimpahan perkara dari polisi. Sehingga proses pemeriksaan terhadap tersangka dilakukan oleh penyidik dari polisi tanpa campur tangan dari JPU (Riyanto, 2021:486).

Mengapa JPU di Indonesia tidak ikut campur sejak dimulainya penyidikan? Hal itu dikarenakan penerapan asas diferensiasi fungsional yang dianut KUHAP, sehingga setiap institusi penegak hukum—kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga lembaga pemasyarakat—dalam sistem peradilan pidana terdapat penegasan pembagian tugas secara instansional (Harahap, 2007: 47).

Meski demikian, terdapat aturan pengecualian yang membuat Jaksa di Indonesia bisa melakukan penyidikan namun terbatas pada tindak pidana khusus saja, misalnya kewenangan JPU melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 serta kasus pelanggaran HAM berat sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Apakah di Indonesia kewenangan penyidikan hanya ada di tangan polisi dan JPU? Tidak, karena menurut KUHAP penyidik juga termasuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Misalnya  satuan PPNS ada yang berada di bawah kementerian yang diberi wewenang oleh undang-undang khusus untuk menangani pelanggaran atau kejahatan khusus sesuai bidang keahliannya. Seperti PPNS di Kementerian Kehutanan untuk memberantas illegal logging dan PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk memberantas illegal fishing (Afandi, 2021: 137-139).

Lantas, bagaimana perbandingan kedudukan antara Jaksa dan Polisi dalam penyidikan?

Untuk mengetahui hubungan wewenang Jaksa dengan Kepolisian yang berlaku di Korsel, Penulis meminjam dua model ‘koordinat dan hierarkis’ Damaska (1974) yang kemudian dieksplorasi oleh Jackson (2004) melalui campuran model kontras seperti: ‘koordinat & adjudikatif’, ‘koordinat & investigasi’, ‘hierarkis & adjudikatif’, dan ‘hierarkis & investigasi’.

Dari model di atas, Jaksa di Korsel secara hierarkis melakukan pengawasan atas investigasi yang dilakukan polisi ataupun memimpin dan turut melakukan investigasi secara langsung (model hierarkis-investigasi).

Perlu diketahui bahwa kedudukan hierarkis antara kepolisian dan kejaksaan tidak hanya ditemui di Korsel saja, kita dapat menemukan model hierarkis serupa di Prancis dan juga Jerman (Mosler, 2018). Bedanya, Criminal Procedure Act (CPA) Korea Selatan tidak memberikan batasan keterlibatan Jaksa pada tahap penyidikan layaknya yang berlaku di Prancis dan Jerman (Choe, 2018: 92). Sehingga Jaksa di Korsel bisa saja melakukan penyidikan secara leluasa terhadap suatu perkara secara menyeluruh sampai ia yakin bahwa tersangka benar-benar diyakini bersalah (Kim dalam Choe, 2018: 92). Keleluasan jaksa melakukan penyidikan tersebutlah yang banyak kita jumpai ketika menonton drama Bad Prosecutor.

Keuntungan dari sistem di Korsel tersebut tentunya akan membuat Jaksa lebih mudah dalam memahami detail perkara secara utuh karena sejak awal telah terlibat aktif dalam penyidikan. Sehingga nantinya Jaksa juga akan lebih mudah dalam menyusun surat dakwaan dan tuntutan di pengadilan (Hukumonline.com, 2022).

Meski demikian, sistem yang berlaku di Korsel tersebut juga memiliki sisi kelemahan karena dianggap menghilangkan filtrasi jaksa untuk menilai hasil penyidikan. Berbeda dengan penyidikan polisi yang diawasi oleh kejaksaan, hasil penyidikan oleh kejaksaan ketika beralih ke pengadilan tidak memiliki mekanisme peninjauan (review). Sekalipun di Kejaksaan Korsel terdapat mekanisme peninjauan secara internal oleh atasan Jaksa melalui konsultasi dan persetujuan (Choe, 2018: 94), akan tetapi hal itu pun tidak menjamin filtrasi jaksa bisa berjalan efektif.

Berbeda dengan hubungan antara kepolisian dan kejaksaan di Korsel yang bersifat hierarkis-investigatif, di Indonesia hubungan keduanya lebih menekankan pada hubungan koordinatif-ajudikatif. Menurut model koordinatif, keduanya adalah institusi yang setara dan masing-masing institusi memiliki tugas yang berbeda (Choe, 2018). Sehingga pengambilan keputusan yang independen dianggap sebagai nilai penting meski terdapat konsekuensi tidak ada ruang bagi kejaksaan untuk mengawasi secara langsung terhadap proses penyidikan.

Apabila dilihat dari segi ajudikatif, Jaksa di Indonesia akan menuntut sesuai dengan alat bukti yang telah diajukan polisi dalam berkas perkara. Apabila jaksa menyimpulkan sudah cukup alat bukti, maka tersangka akan dilakukan penuntutan meski dalam diri Jaksa Penuntut Umum belum memiliki keyakinan bersalah (Worboys, 1985: 764).

Peran Jaksa yang menitikberatkan pada aspek ajudikatif di Indonesia sedikit mirip dengan yang diterapkan The Crown Prosecution Service (CPS) di Inggris dan Wales yang sistem peradilan pidananya adalah sistem adversarial, berbeda dengan Indonesia yang menganut inquisitorial. Peran CPS yang juga terbatas melakukan investigasi tersebut adalah  sebagai filter atas penyidikan yang dilakukan polisi (Pakes, 2015). Sehingga tidak mengherankan apabila CPS akan lebih banyak berkonsentrasi pada upaya ajudikasi ketimbang melakukan investigasi.

Sampai sini bisa dipahami mengapa dalam praktik penegakan hukum di Indonesia kita tidak pernah menjumpai Jaksa di Indonesia melakukan pengawasan atas penyidikan yang dilakukan kepolisan. Karena secara regulasi Jaksa menjalankan model ajudikasi sesuai asas dominus litis-nya, bukan melakukan investigasi.

Tulisan singkat yang membahas perbandingan subsistem peradilan pidana ini hanyalah sedikit point of view yang bisa kita peroleh dari drama Bad Prosecutor. Apabila kita menonton secara keseluruhan tentu kita akan menjumpai perspektif-perspektif baru yang akan memperluas cakrawala hukum kita.

Sebagaimana telah disampaikan di awal kalau drama Bad Prosecutor bukan sekedar tontotan hiburan belaka, melainkan di setiap adegannya mengandung pengetahuan akademis hukum. Sehingga drama ini sangat cocok ditonton para pembelajar hukum—terutama yang tertarik mempelajari perbandingan sistem peradilan pidana. Mengingat di Indonesia sangat sedikit—atau mungkin tidak ada—drama bertemakan hukum semacam Bad Prosecutor. 

Penulis pun sependapat dengan Fachrizal Afandi (Hukumonline, 2021) yang mengatakan masifnya tontonan bertemakan hukum di banyak negara mestinya dapat mendorong para pemroduksi Indonesia untuk serius mengembangkan drama atau film yang cerita utamanya menggambarkan kondisi hukum di Tanah Air. Dengan begitu masyarakat pun akan lebih mengenal seluk belum sistem hukum Indonesia, mulai dari institusi penegak hukum, sistem peradilan, hingga permasalahan-permasalan hukumnya.