Kemeriahan Constitutional Law Festival 2023 Kupas Tuntas Mengenai Parliamentary dan Presidential Threshold

  • Post category:News
You are currently viewing Kemeriahan Constitutional Law Festival 2023 Kupas Tuntas Mengenai Parliamentary dan Presidential Threshold

Malang, FH UB – Forum Kajian dan Penelitian Hukum (FKPH) Universitas Brawijaya bersama Mahkamah Konstitusi dan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) menyelenggarakan Seminar Hukum Nasional bertemakan “Meninjau Parliamentary dan Presidential Threshold Pada Pemilihan Umum 2024 Sebagai Aktualisasi Negara Demokrasi”. Seminar tersebut dilaksanakan pada Minggu, 10 September 2023 di Gedung Widyaloka, Universitas Brawijaya.

Kegiatan Seminar Nasional tersebut juga menjadi penutup acara Constitutional Law Festival (CLFest) 2023. Turut hadir dalam kegiatan ini yaitu Prof. Dr. Anwar Usman, S.H., M.H. (Ketua Mahkamah Konstitusi) selaku Keynote Speaker serta jajaran narasumber yang terdiri dari Prof. Dr. H. Achmad Sodiki, S.H. (Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2010–2013), Titi Anggraini, S.H., M.H. (Pembina Perludem), dan Prof. Dr. Muchamad Ali Safa’at, S.H., M.H. (Guru Besar HTN FH UB).

Sejalan dengan tema yang diangkat dalam CLFEST 2023, Titi Anggraini, S.H., M.H., menyampaikan materi terkait “Meninjau Parliamentary dan Presidential Threshold Pada Pemilihan Umum 2024 sebagai Aktualisasi Negara Demokrasi”. Titi Anggraini, S.H., M.H., atau yang kerap disapa sebagai mbak Titi menyampaikan bahwa memperkuat presidensial tidak sama dengan memperkuat sistem Presiden. Tidak hanya itu, memperkuat sistem presidensial berarti menjamin agar semua kelompok masyarakat relatif memiliki representasi di proses pengambilan keputusan politik, terutama yang formal seperti di DPR. Hal tersebut guna mengurangi probabilitas munculnya penyakit bawaan sistem presidensial; yakni tendensi mayoritas.

Titi juga menjelaskan perihal salah satu alternatif untuk Pemilu, yakni sistem kepartaian sederhana.

“Semakin ke sini, indeks disproporsionalitas sistem Pemilu kita semakin naik. Oleh karena itu, kita dapat menemukan cara sebenarnya. Untuk menyederhanakan sistem kepartaian, itu bukan dengan serta merta melarang masuk partai politik ke parlemen, tetapi ada cara lain, yaitu dengan menata, mengurangi fragmentasi kekuatan partai politik yang ada di parlemen,” jelas Titi.

Sebagai ilustrasi, Titi mencontohkan pengaplikasian solusi tersebut dengan memberikan gambaran akan Pemilu Tahun 1999 yang dalam sistemnya tidak ditentukan ambang batas parlemen, yang diikuti oleh partai politik sederhana, yakni hanya sejumlah 4 partai yang mengikuti Pemilu 1999.

Prof. Dr. Muchamad Ali Safa’at, S.H., M.H. juga mengungkapkan bahwa pemilu 2024 tidak bersifat demokratis karena partai-partai sudah ditentukan dan semua partai secara otomatis masuk ke dalam parlemen.

Beberapa hal yang menjadi acuan adalah adanya keterkaitan partai politik dengan para calon dimana proses pendaftaran calon presiden dan wakil presiden yang harus mendapat sedikitnya 20-25% suara agar dapat maju menjadi calon partai. Selain itu, adanya peran Mahkamah Konstitusi yang secara tidak langsung membuat kebijakan terbuka mengenai pemberlakuan Presidensial dan Parliamentary Threshold dengan tidak mengaturnya di UUD 1945.

“Dalam realitas politik di Indonesia, semua teori menjadi agak kurang relevan, coattail effect itu tidak ada,” jelas Muchamad Ali.

Prof. Achmad Sodiki dalam pemaparannya juga menekankan pentingnya personalia atau karakter dari masing-masing pihak yang terlibat dalam pemilihan.

“Bukan hanya prosedural, saya melihat personalia atau orang-orang yang masuk (yang) harus diawasi. Bagaimana track record-nya, bagaimana ketika pernah menjabat, dan sebagainya itu penting untuk diketahui kita semua,” jelas Prof. Achmad Sodiki.

Prof. Achmad Sodiki mencontohkan adanya tindakan curang yang dilakukan, seperti seorang narapidana yang berganti nama dan pindah ke daerah untuk memenangkan Pilkada, padahal pernah memiliki track record sebagai narapidana dan dihukum. Hal lain yang kerap terjadi, yaitu adanya bentuk intimidasi. Oleh sebab itu, Prof. Achmad menegaskan bahwa meskipun sisi prosedural penting, tetapi perlu juga dilihat dari sisi kualitas dan transparansi, sebab hukum tidak bisa berlaku sama dan sepaham dengan perilaku orang.

Sebagai penutup, Prof. Achmad mengutip kata-kata Mahatma Gandhi, “The things that will destroy us are politics without principle, pleasure without conscience, wealth without work, knowledge without character, science without humanity, religion without sacrifice,” tegas Prof. Achmad menutup pemaparannya.

Sebelum dilaksanakan Seminar Nasional, sebelumnya telah dilaksanakan Opening Ceremony CLFest bertemakan “Quo Vadis Mahkamah Konstitusi Sebagai Judicial Supremacy Demi Tegaknya Konstitusi” pada Jumat, 8 September 2023 bertempat di UBTV Universitas Brawijaya dan dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, Heru Setiawan, S.E., M.Si.

Salah satu rangkaian penting dalam agenda CLFest ini adalah penyelenggaraan kompetisi hukum yang terdiri dari kompetisi artikel ilmiah yang memperebutkan Piala Bergilir Prof. Abdul Mukhtie Fadjar serta kompetisi perancangan undang-undang yang memperebutkan Piala Bergilir Prof. Achmad Sodiki.

Deretan pemenang kompetisi artikel ilmiah diantaranya: Universitas Diponegoro (Juara 1), Universitas Sebelas Maret (Juara 2), Universitas Indonesia (Juara 3), Universitas Airlangga (Berkas terbaik).

Kemudian pemenang kompetisi perancangan undang-undang diantaranya: Universitas Diponegoro (Juara 1), Universitas Haluoleo (Juara 2), dan Universitas Diponegoro (Berkas terbaik).

 

Penulis: Tia Rizki Febrianti, Shofa Umrotul Hasanah, Zakiyyatu Fadzilla
Editor: Endrianto Bayu Setiawan