Prof. Sukarmi: Tarif Dagang AS Bisa Jadi Proteksi Terselubung, Indonesia Perlu Bangun Kemandirian Industri

  • Post category:Opini
You are currently viewing Prof. Sukarmi: Tarif Dagang AS Bisa Jadi Proteksi Terselubung, Indonesia Perlu Bangun Kemandirian Industri
Prof. Dr. Sukarmi, S.H., M.Hum

Malang, FH UB – Langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam mengenakan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, mendapat sorotan dari pakar Hukum Ekonomi Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Sukarmi, S.H., M.Hum. Dalam Podcast FH UB yang tayang pada 11 April 2025, beliau mengupas sisi hukum internasional dari kebijakan tersebut serta menyarankan langkah strategis untuk Indonesia.

Prof. Sukarmi menjelaskan bahwa perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok bukanlah hal baru, namun memuncak ketika Trump mengumumkan tarif timbal balik pada awal April. Ia menggarisbawahi bahwa meskipun tarif diperbolehkan dalam sistem perdagangan internasional, penerapannya harus sesuai dengan prinsip keadilan dan transparansi.

“Tarif itu sah menurut hukum internasional, tapi tetap ada batasannya. Kalau digunakan terus-menerus tanpa alasan yang jelas, itu bukan lagi perlindungan sementara, tapi bisa berubah menjadi proteksi terselubung,” tegasnya.

Menurutnya, sebagai anggota World Trade Organization (WTO), Amerika Serikat seharusnya menunjukkan komitmennya terhadap perdagangan bebas. Pengenaan tarif yang tidak disertai alasan yang memadai dan daftar produk yang terdampak dapat mencederai prinsip dasar WTO.

Ia mengacu pada Pasal 19 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang memperbolehkan tarif sebagai bentuk perlindungan, namun harus memenuhi syarat tertentu. Misalnya, untuk melindungi industri baru (infant industry) atau menjaga kelestarian lingkungan. “Jika tidak memenuhi syarat, maka tarif itu dapat dianggap sebagai bentuk diskriminasi yang melanggar semangat GATT,” ujarnya.

Menanggapi dinamika ini, Prof. Sukarmi menyarankan pendekatan kolektif dalam menghadapi tarif resiprokal. Ia menyarankan agar negara-negara di kawasan seperti ASEAN atau Uni Eropa melakukan negosiasi bersama, alih-alih secara individual. Menurutnya, upaya hukum melalui Dispute Settlement Body (DSB) WTO juga perlu dipertimbangkan untuk membela kepentingan nasional.

Dampak kebijakan tarif ini juga dirasakan di dalam negeri, terutama bagi sektor industri padat karya. Ia menilai, jika tidak direspons secara serius, dapat berimbas pada kelangsungan pekerjaan dan ketahanan ekonomi.

“Perangkat hukum kita sudah cukup, tinggal bagaimana Indonesia memanfaatkannya untuk memperkuat industri dalam negeri. Persaingan global dimenangkan oleh yang paling efisien—baik dalam hal regulasi, produksi, hingga distribusi,” pungkasnya.

Sebagai penutup, Prof. Sukarmi menekankan pentingnya diversifikasi pasar ekspor dan tidak bergantung pada satu negara. Indonesia dinilainya perlu membuka pasar baru dan membangun kekuatan ekonomi mandiri agar mampu bersaing di panggung global. (Rma/Humas FH)