Dapat Grant dari DAAD, Dosen FH UB raih penghargaan sebagai Right Livelihood Junior Scientist.

  • Post category:News

Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Afandi, S.Psi.,SH., MH terpilih menjadi salah satu Right Livelihood Junior Scientist dan mendapatkan grant dari DAAD (Deutscher Akademischer Austauschdienst), setelah paper yang dikirimkannya berhasil lolos seleksi dari ratusan pelamar lain dari seluruh dunia.

Para peneliti muda yang terpilih menjadi Right Livelihood Junior Scientist selanjutnya diundang hadir untuk mengikuti International Workshop dengan tema “Mobilization for change: Human Rights and the Empowerment of the Marginalized” yang diselenggarakan oleh  Association of German Development Services (AGdD) dan The Right Livelihood College (RLC) campus Bonn pada tanggal 3-8 September 2016.

The Right livelihood juga dikenal sebagai lembaga yang memberikan penghargaan Right Livelihood Award atau biasa disebut Alternative Nobel Price Award setiap tahunnya di Stockholm Swedia. Alternative Nobel Price ini dianugerahkan kepada setiap orang yang karena pekerjaannya merubah dunia menjadi lebih baik setelah melalui seleksi yang melibatkan akademisi dan praktisi terkemuka di bidangnya.

Tercatat Munir Said Thalib dari Indonesia di tahun 2000 mendapatkan penghargaan ini karena pekerjaan dan perjuangannya dalam membela Hak Azasi Manusia dan mempromosikan  kekuatan masyarakat sipil terhadap kekuasaan militer. Yang baru Edward Snowden di tahun 2014 mendapatkan penghargaan ini karena keberaniannya mengungkap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat.

Saat mempresentasikan makalahnya, Fachrizal mengutip pernyataan Munir Said Thalib alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya saat memenangi Right Livelihood Award di tahun 2000, dimana menurut Munir, Hak Azasi Manusia merupakan pintu masuk untuk melakukan dialog kepada seluruh penduduk dengan latar belakang socio cultural dan ideology yang berbeda.

Oleh karenanya menurutnya, dalam konteks jaminan Hak Azasi Manusia dalam system peradilan pidana menjadi penting untuk melakukan pengembangan penelitian Trans Disiplin seperti yang telah dikembangkan oleh ZEF Universitas Bonn, Lembaga Think Thank di level Universitas nomor 3 terbaik di dunia,  dengan melakukan penelitian lintas keilmuan yang lebih komprehensif dan pelibatan NGO (Non Government Organization) untuk mengawal implementasi hasil riset yang telah dilakukan.

Fachrizal yang juga peneliti Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA UB) ini menambahkan bahwa tidak maksimalnya jaminan HAM dalam system peradilan pidana Indonesia selain karena aturan yang tumpang tindih juga disebabkan karena ketiadaan independensi dan anggaran Negara yang kecil dalam mendukung operasional kerja aparat. Hal ini kemudian diperparah dengan rendahnya transparansi dan akuntabilitas aparat penegak hukum dalam menangani perkara pidana. Rendahnya jumlah riset peradilan pidana di Indonesia yang berkualitas dan implementatif juga menjadi masalah krusial yang turut berpengaruh pada regulasi yang aplikable dan menjamin hak asas.

Para peneliti Right Livelihood Junior Scientist juga mendapatkan undangan dari Walikota Bonn Jerman untuk hadir pada resepsi dan kuliah umum yang diberikan oleh dua pemenang Altenative Nobel Price, Right Livelihood Award yaitu  Glorene A. Das, aktivis yang konsen pada isu perempuan dan buruh migran pemenang tahun 2005 dan Prof. Anwar Fazal, akademisi pemerhati isu konsumen pemenang tahun 1982.  Hal yang kedepan perlu diadopsi di Indonesia terkait bagaimana kolaborasi antara perguruan tinggi dengan pemerintah kota dalam mempromosikan isu-isu hak asasi manusia, hal ini menarik karena dengan model seperti ini perguruan tinggi tidak hanya menjadi menara gading namun juga menggandeng pemerintah lokal dalam membumikan bahasa hak asasi manusia agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam.

Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Afandi, S.Psi.,SH., MH terpilih menjadi salah satu Right Livelihood Junior Scientist dan mendapatkan grant dari DAAD (Deutscher Akademischer Austauschdienst), setelah paper yang dikirimkannya berhasil lolos seleksi dari ratusan pelamar lain dari seluruh dunia.

Para peneliti muda yang terpilih menjadi Right Livelihood Junior Scientist selanjutnya diundang hadir untuk mengikuti International Workshop dengan tema “Mobilization for change: Human Rights and the Empowerment of the Marginalized” yang diselenggarakan oleh  Association of German Development Services (AGdD) dan The Right Livelihood College (RLC) campus Bonn pada tanggal 3-8 September 2016.

The Right livelihood juga dikenal sebagai lembaga yang memberikan penghargaan Right Livelihood Award atau biasa disebut Alternative Nobel Price Award setiap tahunnya di Stockholm Swedia. Alternative Nobel Price ini dianugerahkan kepada setiap orang yang karena pekerjaannya merubah dunia menjadi lebih baik setelah melalui seleksi yang melibatkan akademisi dan praktisi terkemuka di bidangnya.

Tercatat Munir Said Thalib dari Indonesia di tahun 2000 mendapatkan penghargaan ini karena pekerjaan dan perjuangannya dalam membela Hak Azasi Manusia dan mempromosikan  kekuatan masyarakat sipil terhadap kekuasaan militer. Yang baru Edward Snowden di tahun 2014 mendapatkan penghargaan ini karena keberaniannya mengungkap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat.

Saat mempresentasikan makalahnya, Fachrizal mengutip pernyataan Munir Said Thalib alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya saat memenangi Right Livelihood Award di tahun 2000, dimana menurut Munir, Hak Azasi Manusia merupakan pintu masuk untuk melakukan dialog kepada seluruh penduduk dengan latar belakang socio cultural dan ideology yang berbeda.

Oleh karenanya menurutnya, dalam konteks jaminan Hak Azasi Manusia dalam system peradilan pidana menjadi penting untuk melakukan pengembangan penelitian Trans Disiplin seperti yang telah dikembangkan oleh ZEF Universitas Bonn, Lembaga Think Thank di level Universitas nomor 3 terbaik di dunia,  dengan melakukan penelitian lintas keilmuan yang lebih komprehensif dan pelibatan NGO (Non Government Organization) untuk mengawal implementasi hasil riset yang telah dilakukan.

Fachrizal yang juga peneliti Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA UB) ini menambahkan bahwa tidak maksimalnya jaminan HAM dalam system peradilan pidana Indonesia selain karena aturan yang tumpang tindih juga disebabkan karena ketiadaan independensi dan anggaran Negara yang kecil dalam mendukung operasional kerja aparat. Hal ini kemudian diperparah dengan rendahnya transparansi dan akuntabilitas aparat penegak hukum dalam menangani perkara pidana. Rendahnya jumlah riset peradilan pidana di Indonesia yang berkualitas dan implementatif juga menjadi masalah krusial yang turut berpengaruh pada regulasi yang aplikable dan menjamin hak asas.

Para peneliti Right Livelihood Junior Scientist juga mendapatkan undangan dari Walikota Bonn Jerman untuk hadir pada resepsi dan kuliah umum yang diberikan oleh dua pemenang Altenative Nobel Price, Right Livelihood Award yaitu  Glorene A. Das, aktivis yang konsen pada isu perempuan dan buruh migran pemenang tahun 2005 dan Prof. Anwar Fazal, akademisi pemerhati isu konsumen pemenang tahun 1982.  Hal yang kedepan perlu diadopsi di Indonesia terkait bagaimana kolaborasi antara perguruan tinggi dengan pemerintah kota dalam mempromosikan isu-isu hak asasi manusia, hal ini menarik karena dengan model seperti ini perguruan tinggi tidak hanya menjadi menara gading namun juga menggandeng pemerintah lokal dalam membumikan bahasa hak asasi manusia agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam.