Visiting Profesor FH UB: Beligh Elbati dari Osaka University Soroti Pernikahan dalam Hukum Islam dan Peran Wali

You are currently viewing Visiting Profesor FH UB: Beligh Elbati dari Osaka University Soroti Pernikahan dalam Hukum Islam dan Peran Wali
Associate Professor Beligh Elbati dari Osaka University

Malang – Pada hari kedua kunjungannya di Universitas Brawijaya (UB), Selasa (03/09/2024), Associate Professor Beligh Elbati dari Osaka University kembali melanjutkan pemaparan tentang hukum Islam di Auditorium Lantai 6 Fakultas Hukum UB. Acara yang berlangsung dari pukul 14.20 hingga 16.00 WIB ini mengangkat topik “Pernikahan dalam Hukum Islam dari Perspektif Internasional,” dengan fokus pada usia pernikahan dan peran wali dalam pelaksanaannya.

Dalam penjelasannya, Prof. Beligh memaparkan bahwa berdasarkan pandangan para ulama Muslim, terdapat perbedaan pandangan terkait usia minimal pernikahan. Perbedaan tersebut umumnya muncul karena adanya perbedaan dalam memahami kontrak pernikahan dan kapan pernikahan tersebut dianggap sah atau “terwujud”. Namun, hukum Islam sendiri tidak menentukan secara spesifik batasan umur minimal yang harus dicantumkan dalam kontrak pernikahan.

“Meski demikian, pelaksanaan pernikahan memerlukan kesiapan fisik dan mental, seperti tercapainya masa pubertas yang biasanya dianggap sebagai usia minimal seseorang untuk menikah,” jelas Prof. Beligh.

Beliau juga membahas isu pernikahan anak, menekankan bahwa dalam hukum Islam, pernikahan anak perempuan yang masih di bawah umur dapat terjadi jika disetujui oleh wali. Pengaturan ini merujuk pada prinsip-prinsip dasar yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah. Wali memiliki peran penting dalam melindungi dan memastikan kepentingan perempuan dalam pernikahan.

“Walaupun perempuan harus menyetujui pernikahannya, secara umum, diketahui bahwa mereka tidak bisa melakukan akad nikah sendiri tanpa kehadiran wali,” lanjutnya.

Prof. Beligh kemudian mengutip beberapa hadits yang menjelaskan peran wali dalam pernikahan, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Musa dan Abu Huraira. Dalam hadits-hadits tersebut ditegaskan bahwa pernikahan tidak sah tanpa wali, serta pernikahan seorang wanita yang belum pernah menikah (bikr) hanya dapat dilakukan dengan izinnya.

Wali yang memiliki hak untuk menikahkan biasanya adalah ayah dari calon istri, atau jika tidak ada, kerabat laki-laki terdekat. Urutan ini dapat berbeda-beda tergantung pada mazhab yang dianut, tetapi umumnya didasarkan pada hubungan kekerabatan.

Acara ini menjadi kesempatan berharga bagi para peserta, khususnya mahasiswa hukum dan penggiat studi Islam, untuk memahami lebih dalam mengenai kompleksitas hukum Islam dalam konteks pernikahan, termasuk isu-isu yang relevan di berbagai negara Muslim di dunia.

Prof. Beligh juga mengajak para hadirin untuk terus mempelajari dan memahami dinamika hukum Islam dalam perspektif internasional, dengan tetap menghormati tradisi lokal dan nilai-nilai kemanusiaan.Milda Istiqomah, S.H., MTCP., Ph.D. (dilla/rma/Humas FH)